Kota Cilegon, Kota Baja dengan Udara Rasa Karat yang Bikin Nafas Tersendat-sendat

Cilegon, kota yang digadang-gadang sebagai “Kota Baja,” memang sudah selayaknya mendapat penghargaan: bukan atas kontribusi lingkungannya, tapi atas kesuksesannya mengasapi penduduknya sendiri. Udara di sini, konon, punya aroma khas: perpaduan elegan antara cerobong asap pabrik, debu jalanan, dan sedikit rasa karbon dioksida untuk sentuhan akhir. Kalau saja ada restoran yang menjual menu “Udara Cilegon,” pasti Michelin Star langsung datang mengetuk.

Lalu, mari bicara soal ruang hijau. Eh, maksud saya, ruang “hijau-hijauan.” Kalau ada yang menyebut Cilegon kekurangan taman kota, mungkin dia belum menghitung pot taman depan kantor kelurahan. Taman ini mungkin kecil, tapi besar jasanya untuk estetika Instagram. Di sisi lain, hutan mangrove yang pernah jadi tameng alami kota ini kini nasibnya mirip sinetron sore: digusur untuk proyek besar yang katanya “demi pembangunan.” Ironi, ya? Untuk membangun masa depan, justru menghancurkan pelindung masa depan itu sendiri.

Jangan lupa sampah, sang ikon tak resmi kota ini. Di sini, got tidak hanya berfungsi sebagai saluran air, tapi juga museum mini sampah plastik. Mau lihat bungkus mie instan tahun lalu? Tinggal intip selokan terdekat. Mungkin Cilegon sedang merintis inovasi: menggantikan sungai-sungai alami dengan sungai plastik yang lebih tahan lama. Bagaimana tidak, plastik itu tidak bisa terurai, sama seperti janji manis proyek lingkungan yang entah kapan akan terealisasi.

Namun, tunggu dulu. Kita harus adil. Cilegon punya kebijakan lingkungan, kok. Ada program penghijauan, misalnya. Biasanya, program ini disambut dengan penuh semangat—oleh kamera wartawan. Setelah upacara simbolis selesai, bibit pohon biasanya pensiun dini, kering di tengah terik kota baja. Jangan salahkan pohonnya, mungkin ia terlalu syok melihat realitas kota ini.

Tapi, bukan berarti harapan sepenuhnya mati. Masyarakat Cilegon punya bakat adaptasi yang luar biasa. Mereka belajar hidup dengan pola napas pendek-pendek, seolah paru-paru manusia sudah dilatih sejak lahir untuk menghadapi karbon tambahan. Anak-anak pun kreatif, menjadikan limbah industri sebagai bahan untuk eksperimen sains kecil-kecilan—meskipun tanpa disadari, eksperimen itu dilakukan langsung di tubuh mereka sendiri.

Sebenarnya, Cilegon bisa berubah. Namun, untuk itu, perlu keberanian luar biasa dari semua pihak—dan bukan hanya keberanian untuk selfie di tengah acara penanaman pohon. Yang dibutuhkan adalah kebijakan yang nyata, eksekusi yang tegas, dan kesadaran bahwa “kota baja” tak berarti harus keras terhadap lingkungannya sendiri. Kalau tidak, ya, siap-siap saja menikmati “kota baja” ini dengan udara rasa karat, jalanan berhiaskan plastik, dan masa depan yang tertutup asap.

Jadi, bagaimana, warga Cilegon? Masih betah? Atau sudah siap mengganti tagline kota menjadi “Kota Baja, Bukan untuk Manusia”?

Berikan Komentarmu!