Rebo Wekasan: Tradisi, Doa, dan Guyon Logis di Tengah Kekinian

Jika ada satu hal yang tak pernah luput dari masyarakat kita, itu adalah kegemaran menjaga tradisi dengan semangat yang terkadang lebih besar dari menjaga tabungan. Salah satunya adalah Rebo Wekasan, sebuah ritual unik yang dilaksanakan pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar, bulan kedua dalam kalender Hijriyah. Tradisi ini disebut-sebut sebagai “benteng spiritual” dari segala bala yang konon mengintai di hari-hari itu. Namun, mari kita telaah tradisi ini dengan sentuhan rasionalitas tanpa kehilangan rasa hormat terhadap kearifan lokal.

Bentuk ritual Rebo Wekasan cukup beragam, meski semua berporos pada satu tujuan: menolak bala. Ada empat elemen utama dalam tradisi ini. Pertama adalah salat tolak bala, atau yang sering disebut salat Rebo Wekasan. Kedua, pembacaan doa bersama sebagai permohonan keselamatan. Ketiga, meminum air yang telah diberi doa atau jimat—entah ini lebih terasa sakral atau seperti mendapatkan free refill di kedai kopi lokal. Keempat, diakhiri dengan selamatan atau makan bersama, yang mungkin jadi momen favorit banyak orang karena melibatkan makanan enak.

Sebagai tradisi, Rebo Wekasan mengandung nilai kebersamaan dan kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa. Namun, menariknya, tradisi ini juga sering kali memunculkan perdebatan di kalangan masyarakat modern. Sebagian orang memandangnya sebagai warisan kultural yang harus dilestarikan, sementara sebagian lain—terutama mereka yang lebih logically inclined—menganggapnya tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang murni.

Namun, apakah tradisi ini benar-benar soal logika belaka? Atau mungkin tradisi seperti Rebo Wekasan punya fungsi sosial yang lebih besar dari sekadar ritual? Di tengah masyarakat yang semakin terkotak-kotak, tradisi ini mempertemukan berbagai lapisan dalam satu atap untuk berbagi doa dan makanan. Jika kita melihatnya dari kacamata sosiologi, Rebo Wekasan adalah alat untuk memperkuat solidaritas sosial, sebuah pengingat bahwa di balik perbedaan ada tujuan bersama: meminta keselamatan dan keberkahan.

Tentu, ada sisi yang bisa menjadi bahan guyon rasional. Misalnya, apakah meminum air doa itu lebih manjur daripada vitamin C atau vaksin? Bagi sebagian orang, mungkin jawabannya tergantung siapa yang ditanya: dukun lokal atau dokter keluarga. Namun, dalam setiap guyonan itu, ada pesan yang bisa kita petik. Tradisi ini mengajarkan bahwa manusia selalu mencari perlindungan dalam berbagai bentuk—baik lewat doa, salat, atau bahkan ramuan tradisional.

Di era modern ini, Rebo Wekasan tetap memiliki tempat, meski mungkin perlu direfleksikan kembali relevansinya. Apakah kita mempraktikkannya karena benar-benar memahami maknanya, atau sekadar ikut-ikutan demi menjaga “biar aman”? Pada akhirnya, tradisi ini adalah cermin yang merefleksikan cara masyarakat kita memadukan spiritualitas, kebudayaan, dan—kadang—sedikit logika. Toh, siapa yang bisa menyangkal bahwa makan bersama di akhir ritual adalah bagian terbaik yang membawa kedamaian batin tersendiri?

Berikan Komentarmu!