Tam-Tambuku: Permainan Tradisional dan Cermin Harmoni Anak-anak Cilegon

Di tengah hiruk-pikuk industrialisasi yang menjadi identitas Kota Cilegon, siapa sangka bahwa permainan tradisional seperti tam-tambuku masih bisa menjadi oasis kebahagiaan bagi anak-anak? Permainan ini, yang tidak membutuhkan teknologi mutakhir atau peralatan mahal, justru menawarkan sesuatu yang lebih berharga—kerja sama, imajinasi, dan kebersamaan. Tam-tambuku seolah menjadi simbol sederhana dari cara hidup masyarakat lokal yang penuh kreativitas dan kehangatan, meskipun sering terlupakan di era gawai dan internet.

Permainan tam-tambuku memanfaatkan lahan terbuka yang luas—entah itu halaman rumah, lapangan sekolah, atau kebun tetangga. Luas minimal yang dibutuhkan hanyalah 5 x 7 meter, meskipun semakin besar area, semakin bebas pula anak-anak berlarian tanpa harus takut terjatuh di tengah permainan. Menariknya, meski sederhana, ada unsur estetika yang diperhatikan. Idealnya, lahan yang digunakan harus rata, berumput, atau bersemen. Kalau ada pohon-pohon di sekitar lapangan? Itu malah bonus! Tidak hanya memberi keteduhan dari teriknya matahari, tapi juga menghadirkan suasana yang lebih asri, jauh dari kesan gersang yang kerap ditemui di kota industri.

Sebelum permainan dimulai, anak-anak berkumpul dan memilih dua pemimpin, yang disebut sebagai mayor. Pemilihan ini bukan sembarangan. Biasanya, yang dipilih adalah anak-anak yang dianggap paling tua dan memiliki postur tubuh yang serupa—mungkin supaya adil saat bertanding, atau sekadar untuk menjaga harmoni di antara para pemain. Namun, keputusan ini sering kali diselingi diskusi seru yang mencerminkan demokrasi khas anak-anak, di mana semua suara sama-sama penting.

Setelah dua mayor dipilih, mereka kemudian menjauh dari kerumunan untuk membuat kesepakatan rahasia. Nah, di sinilah imajinasi anak-anak Cilegon diuji. Kedua pemimpin ini akan memilih nama-nama pohon, jenis bunga, tokoh ternama, atau bahkan istilah pertanian untuk diri mereka masing-masing. Uniknya, nama-nama ini tidak boleh diketahui oleh pemain lainnya—sebuah aturan yang tampaknya sederhana tapi memiliki unsur misteri yang memancing rasa ingin tahu. Bayangkan, di tengah permainan, seorang anak meneriakkan, “Kembang Melati, kamu kalah!” hanya untuk menyadari bahwa itu bukan nama rahasia lawannya.

Di balik kesederhanaan tam-tambuku, permainan ini menyimpan filosofi yang menarik. Anak-anak belajar tentang kerjasama, tanggung jawab, dan bahkan cara mengambil keputusan bersama. Lahan kosong dan nama-nama pohon sederhana menjadi alat untuk membangun kebersamaan, sebuah refleksi dari nilai-nilai budaya masyarakat Cilegon yang mengutamakan harmoni dan kreativitas.

Tentu saja, tidak ada salahnya kita menertawakan fakta bahwa di tengah perkembangan teknologi dan gaya hidup modern, permainan seperti ini justru terasa lebih “mewah.” Sebuah permainan tanpa kuota internet, tanpa layar sentuh, tapi penuh dengan tawa lepas dan energi yang menular. Mungkin ini saatnya kita menghidupkan kembali tam-tambuku—tidak hanya sebagai permainan tradisional, tapi sebagai pengingat bahwa kebahagiaan sejati sering kali tersembunyi dalam kesederhanaan.

Berikan Komentarmu!